Harga buah impor terkadang lebih murah dibanding buah lokal. Apalagi,
pengemasannya lebih menggiurkan, warna lebih menarik. Kita mungkin
sering lihat di pasar swalayan, kan?
"Harga buah impor yang dijual di supermarket Indonesia kadang lebih
murah dibanding harga di negara asalnya. Hal ini tentu saja membuat kita
heran sekaligus bertanya, mengapa buah tersebut bisa dijual dengan
harga murah?" kata Pakar Keamanan Pangan dan Gizi Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor Prof Ahmad Sulaeman.
Tapi hati-hati, ternyata buah impor banyak yang dilapisi lilin.
Tujuannya agar tahan selama berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai dua
tahun. "Dalam lilin itu juga ditambahkan fungisida agar buah tidak
berjamur," ujarnya.
Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa fungisida yang biasa ditambahkan adalah jenis fincocillin yang bersifat anti-androgenic yang sama sifatnya seperti DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane). Anti-androgenic ini, katanya, menimbulkan efek mandul pada serangga.
Akibat
Dari berbagai penelitian, katanya, orang yang mengonsumsi pangan yang
mengandung residu pestisida, walaupun dalam kandungan yang rendah
tenyata mampu menyebabkan demaskulinisasi. Hal ini bisa mengganggu
perkembangan organ reproduksinya.
Karenanya, kata dia, tidak mengherankan jika sekarang banyak banci atau kaum alay. Padahal kalau menengok tahun 1960-an, yang disebut banci itu adalah mereka yang punya kelamin ganda.
Misalnya, pelari nasional dari Tasikmalaya akhirnya mengubah kelaminnya menjadi laki-laki, karena sejak dilahirkan ia memiliki kelamin ganda.
Sementara pada zaman sekarang, para banci ini berawal dari laki-laki tulen, tapi lambat laun sifatnya kemayu dan kecenderungan sosialnya ke sesama laki-laki.
"Itu terjadi setelah 30-40 tahun penggunaan pestisida atau revolusi hijau pertama," katanya. Menurut dia, harus diakui bahwa banyaknya kaum alay sekarang ini adalah dampak dari revolusi hijau pertama, dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di sejumlah negara.
Karenanya, kata dia, tidak mengherankan jika sekarang banyak banci atau kaum alay. Padahal kalau menengok tahun 1960-an, yang disebut banci itu adalah mereka yang punya kelamin ganda.
Misalnya, pelari nasional dari Tasikmalaya akhirnya mengubah kelaminnya menjadi laki-laki, karena sejak dilahirkan ia memiliki kelamin ganda.
Sementara pada zaman sekarang, para banci ini berawal dari laki-laki tulen, tapi lambat laun sifatnya kemayu dan kecenderungan sosialnya ke sesama laki-laki.
"Itu terjadi setelah 30-40 tahun penggunaan pestisida atau revolusi hijau pertama," katanya. Menurut dia, harus diakui bahwa banyaknya kaum alay sekarang ini adalah dampak dari revolusi hijau pertama, dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di sejumlah negara.
Dampak lain dari pestisida adalah pada anak-anak. Ia mengemukakan,
banyak anak yang baru minum ASI (air susu ibu) saja bisa keracunan DDT,
akibat sang ibu mengkonsumsi sayur dan buah yang terpapar pestisida. Hal
ini dapat mengganggu perkembangan mental dan kognitif anak.
Ahmad menjelaskan, satu penelitian di negara Meksiko yang membandingkan anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik (tanpa pestisida) dan non-organik (disemprot pestisida).
Hasilnya, kata dia, anak yang selalu terpapar pestisida tidak mampu menggambar, sekalipun gambar garis yang sederhana.
Sebaliknya, anak yang biasa mengkonsumsi pangan organik disebutkan mampu menggambar dengan bagus.
Kemudian beberapa risiko penyakit juga dimungkinkan berkembang pada anak yang dilahirkan dari ibunya yang terpapar pestisida, seperti penyakit leukemia dan termasuk autis.
Sumber : mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar