15/07/11

“Simbiosis (Predatisme) antara Beberapa Serangga dengan Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) ”

PENDAHULUAN
Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama penting tanaman padi di Indonesia. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan.
Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan pelepah daun (Baehaki 1989; Pathak 1988).Wereng batang coklat (WBC) sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Hal ini disebabkan WBC mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.(Marheni, 2004)
Pendekatan masalah hama ini dilakukan dengan konsep pengelolaan hama, antara lain dengan musuh alami. Wereng coklat mempunyai banyak musuh alami, terdiri atas predator, parasit, dan patogen. (Arifin, 1983).
Dalam beberapa pengamatan di lapangan, WBC mempunyai banyak musuh alami di alam terutama predator, mencapai 19–22 famili dan parasitoid 8–10 famili. Predator–predator ini cocok untuk pengendalian WBC karena kemampuannya memangsa spesies lain (polyfag) sehingga ketersediaannya di alam tetap terjaga walaupun pada saat populasi WBC rendah atau di luar musim tanam (Mahrub & Arwiyanto 2003 dalam Marheni, 2004).
Tujuan
Untuk Mengetahui Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
PEMBAHASAN
Masalah Hama Wereng Batang Coklat
Serangga wereng coklat berukuran kecil, panjang 0,1-0,4 cm. Wereng coklat bersayap panjang dan wereng punggung putih berkembang ketika makanan tidak tersedia atau terdapat dalam jumlah terbatas. Dewasa bersayap panjang dapat menyebar sampai beratus kilometer.
Dalam masa perkembangannya, wereng coklat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu makroptera dan brakhiptera. Makkroptera adalah wereng coklat yang memiliki sayap panjang. Wereng coklat ini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan terbang menggunakan sayapnya tersebut. Sedangkan brakhiptera adalah wereng coklat yang bersayap pendek. Wereng coklat ini mempunyai kemampuan bereproduksi yang tinggi. Jenis wereng coklat brakhiptera dapat berubah menjadi makroptera apabila populasi wereng coklat pada suatu pertanaman sudah terlalu banyak.
Wereng coklat secara langsung dapat menyebabkan penyakit hopperburn. Hopperburn adalah gejala pada tanaman yang terserang wereng ini dengan penampakan tanaman kering seperti terbakar. Secara tidak langsung wereng coklat ini dapat berperan sebagai vector penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput. Kerdil hampa adalah penyakit pada tanaman padi dengan gejala tidak terisinya malai karena virus ini menyerang pada fase vegetatif. Sedangkan kerdil rumput merupakan penyakit dengan gejala yang hampir mirip karena merupakan gejala lanjutan dari penyakit kerdil hampa. Ciri khas dari penyakit kerdil rumput ini adalah selain malai tidak terbentuk, perawakan dari tanaman padi berkembang menyerupai rumput ilalang.
Biotipe adalah suatu populasi atau individu yang dapat dibedakan dari populasi atau individu lain bukan karena sifat morfologi, tetapi didasarkan kepada kemampuan adaptasi, perkembangan pada tanaman inang tertentu, daya tarik untuk makan, dan meletakkan telur. Dari pengalaman yang panjang, yakni sejak munculnya serangan wereng coklat di Indonesia yang pertama kali pada tahun 1930, wereng coklat terbukti mampu beradaptasi secara terus menerus bila dipelihara pada suatu varietas dan mampu mematahkan ketahanan varietas serta menghilangkan daya seleksi varietas yang ditempatinya. Oleh karena itu, dalam mengendalikan wereng coklat perlu adanya pergiliran varietas. Hal ini dilakukan untuk menunda seleksi terarah yaitu untuk menunda terjadinya biotipe baru. Pergiliran varietas adalah bagian dari pergiliran tanaman dengan tanaman sejenis yang berbeda ketahanannya.
Sejak diketahuinya ada wereng coklat pada 1930 (biotipe nol), baru timbul wereng coklat biotipe 1 pada tahun 1971. Pada Tahun 1967 diintroduksi varietas padi unggul ajaib IR5 dan IR8 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat, namun berproduksi tinggi yaitu lebih dari 2 kali lipat produksi padi yang telah ada saat ini. Hanya saja nasinya berasa pera. Lalu, pada tahun 1971 dilepas varietas Pelita I/1 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat dengan rasa nasi enak dan pulen. Tetapi pada tahun 1972 terjadi ledakan serangan wereng coklat pada varietas-varietas tersebut, hal ini karena ada perubahan biotipe wereng coklat biotipe nol menjadi wereng coklat biotipe 1.
Pada tahun 1975, untuk menghadapi wereng biotipe 1 telah diintroduksi varietas IR26 (gen tahan Bph 1) dari IRRI. Namun demikian, pada tahun 1976 terjadi ledakan wereng coklat yang hebat dibeberapa daerah sentral produksi padi. Hal ini karena ada perubahan wereng coklat biotipe 1 ke wereng coklat biotipe 2. Pada tahun 1980, untuk menghadapi wereng biotipe 2 diintroduksi lagi varietas IR42 (gen tahan bph2) dari IRRI. Varietas baru ini mampu bertahan dilapangan, namun pada perbesar MP 1981 / 1982 dilaporkan dari kabupaten Simalunggun – Sumatera Utara bahwa IR42 telah terserang wereng coklat. Wereng coklat tersebut diuji di laboratorium reaksinya terhadap varietas diferensial menyimpang dari sifat biotipe yang etlah diketahui, sehingga wereng tersebut dimasukkan sebagai wereng coklat IR 42 SU (Deli Serdang). Wereng coklat yang meledak di Sumatera Utara hampir mirip dengan wereng coklat populasi asia selatan (SAA) yang terdapat di India dan Srilanka. Pengujian biotipe terus dilanjutkan dan akhirnya diketahui bahwa wereng yang menyerang IR42 di Sumut adalah wereng coklat biotipe 3.
Untuk menghadapi wereng coklat biotipe 3 telah diintroduksikan varietas padi IR 56 (gen tahan Bph3) pada 1983 dan IR64 (gen tahan Bph1+) tahun 1986. Ternyata varietas IR64 ini menyelamatkan bangsa, karena mempunyai rasa nasi enak, produksi tinggi, dan tahan wereng coklat biotipe 3, sehingga petani menjadi tenang bila menanam varietas tersebut. Sejak itu banyak varietas padi buatan bangsa Indonesia yang dilepas untuk menghadapi wereng coklat di pertanaman, namun varietas baru tersebut dilepas sebagai keturunan dari IR64. Dilain pihak varietas IR56 kurang beruntung karena tak banyak disukai petani. Selanjutnya sebagai antisipasi dini kemungkinan terjadinya serangan wereng coklat biotipe 4 maka pada tahun 1991 diintroduksi varitas IR74 (gen tahan Bph3) untuk mempertinggi keragaman genetik pertanaman mozaik. Namun demikian varietas IR74 yang mempunyai rasa nasi pera tidak bisa ditanam petani.
Pada 2005 beredar isu nasional karena terjadi serangan wereng coklat pada tanaman padi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat terhadap varietas IR64 dan beberapa varietas populer lainnya yang telah patah ketahanannya dari uji ketahanan varietas lanjutan menunjukkan bahwa varietas IR42 (Bph2) sudah patah ketahananya terhadap wereng coklat asal Patih dan Demak dengan reaksi agak peka sampai peka, sedangkan Cisadane dan Ciliwung dan Tukad Petanu berekasi agak tahan sampai agak peka.
Varietas IR64, IR6, Cisadane, Sri Putih, Sri Putih Jateng, Ciherang, Bondoyudo, Kalimas dan membramo berekasi agak tahan terhadap wereng coklat asal Patih dan Demak. Pada 2005 teridentifikasi bahwa pada wereng coklat di Patih masih tetap merupakan biotipe 3 yang mulai berkembang sejak tahun 1995, sedangkan yang di Demak berubah dari wereng coklat biotipe 2 pada 1985 menjadi wereng coklat biotipe 3 pada tahun 2005.
Kestabilan wereng coklat biotipe nol bertahan selama 41 tahun sebelum menjadi wereng coklat biotipe 1. perubahan wereng coklat biotipe 1 ke wereng coklat biotipe 2 hanya dalam waktu 4 tahun, dan perubahan wereng coklat biotipe 2 ke wereng coklat bitipe 3 hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Setelah terjadi wereng coklat biotipe ke 3 sampai 2005 sudah 25 tahun sejak terjadinya wereng coklat biotipe 2 masih tetap didominasi wereng coklat biotipe 3, namun pada 2006 seudah mulai ada wereng coklat biotipe 4 di Asahan, Sumatera Utara. Keberadaan wereng coklat biotipe 3 yang cukup lama, disebabkan adanya varietas IR64. (Bph 1 +) yang merupakan varietas Durable resistance sebagai penyangga perubahan wereng coklat di biotipe yang lebih tinggi, juga disebabkan tidak berkembangnya varietas IR74 (Bph3) yang akan menyulut terbentuknya biotipe baru.
Untuk keperluan manajemen pengendalian wereng coklat diperlukan data tingkat biotipe dari seluruh sentra produksi padi dan data ketahanan galur / varietas terhadap wereng coklat biotipe 1, 2, 3 dan 4. Identifikasi wereng coklat untuk menentukan tingkat biotipenya terus dilanjutkan terutama pada daerah-daerah yang varietas IR64 telah patah ketahanannya. (Baehaki, 2007 dalam http://fitrifatmaw08.student.ipb.ac.id)
Jenis Spesies Predator
Beberapa spesies laba- laba seperti Pardosa pseudoannulata Boesenberg. (O: Araneida, F: Lycosidae) dan Tetragnatha maxillosa Thorell. (O: Araneida, F: Lycosidae) bersifat predator terhadap WBC dan serangga hama tanaman padi lainnya, bergerak aktif untuk menggigit dan mengunyah mangsanya (Anonim 1989). Selain spesies laba-laba, pemangsa WBC lainnya adalah kepik (Cyrtorhinus lividipennis Reuter) yang memangsa imago dan telur wereng lalu menghisapnya sampai kering; kumbang (Ophionea nigrofasciata Schmidt-Goebeld) disebut kumbang tanah berbadan keras dan aktif, tubuh mengkilap serta alat mulutnya mengunyah; dan belalang (Conocephalous longipennis de Haan.).
Rata-rata Jumlah Hama Wereng yang dimangsa oleh Predator
Marheni, 2004 menunjukkan bahwa penggunaan beberapa jenis predator pemangsa WBC dapat menekan populasi WBC dan intensitas serangan terhadap tanaman padi. Predator Paradosa pseudoannulata mempunyai kemampuan memangsa lebih tinggi dibandingkan dengan predator-predator lainnya yaitu rata-rata 4,05 ekor per hari. Kemudian disusul oleh predator Tetragnatha maxillosa .
Hal ini disebabkan laba-laba Paradosa pseudoannulata merupakan laba-laba pemburu yang sangat aktif bergerak dan menggunakan banyak waktu untuk mencari mangsanya, sedangkan laba-laba bertaring panjang Tetragnatha maxillosa merupakan pemangsa penting terhadap serangga terbang (Calagher 1990).
Sedangkan kemampuan predator Cyrtorhinus lividipennis memangsa hama WBC hanya rata- rata 0,38 ekor per hari, disebabkan Cyrtorhinus lividipennis lebih bertindak sebagai predator telur daripada predator nimfa dan imago (Manti 1989 dalam Marheni 2004). Menurut Manti (1989) sepasang predator Cyrtorhinus lividipennis dapat memangsa 9,17 telur per hari dan hanya 0,33 ekor imago WBC per hari.
Predator Ophionea nigrofasciata hanya memangsa 1,79 ekor WBC per hari karena predator ini lebih menyukai memangsa larva penggulung daun daripada WBC (Shepard et al, 1990). Dengan demikian, preferensi tiap jenis predator dapat mempengaruhi intensitas pemangsaan predator itu terhadap jenis tertentu dari mangsanya.
Kesimpulan
Di lapangan ditemukan beberapa spesies laba- laba seperti Pardosa pseudoannulata Boesenberg. (O: Araneida, F: Lycosidae) dan Tetragnatha maxillosa Thorell. (O: Araneida, F: Lycosidae) bersifat predator terhadap WBC dan serangga hama tanaman padi lainnya, bergerak aktif untuk menggigit dan mengunyah mangsanya (Anonim 1989). Selain spesies laba-laba, pemangsa WBC lainnya adalah kepik (Cyrtorhinus lividipennis Reuter) yang memangsa imago dan telur wereng lalu menghisapnya sampai kering; kumbang (Ophionea nigrofasciata Schmidt-Goebeld) disebut kumbang tanah berbadan keras dan aktif, tubuh mengkilap serta alat mulutnya mengunyah; dan belalang (Conocephalous longipennis de Haan.).
Dan dari jenis-jenis predator tersebut, Predator Paradosa pseudoannulata mempunyai kemampuan memangsa lebih tinggi dibandingkan dengan yaitu rata-rata 4,05 ekor per hari. Kemudian disusul oleh predator Tetragnatha maxillosa .
PENUTUP
Kesimpulan
Di lapangan ditemukan beberapa spesies laba- laba seperti Pardosa pseudoannulata Boesenberg. (O: Araneida, F: Lycosidae) dan Tetragnatha maxillosa Thorell. (O: Araneida, F: Lycosidae) bersifat predator terhadap WBC dan serangga hama tanaman padi lainnya, bergerak aktif untuk menggigit dan mengunyah mangsanya (Anonim 1989). Selain spesies laba-laba, pemangsa WBC lainnya adalah kepik (Cyrtorhinus lividipennis Reuter) yang memangsa imago dan telur wereng lalu menghisapnya sampai kering; kumbang (Ophionea nigrofasciata Schmidt-Goebeld) disebut kumbang tanah berbadan keras dan aktif, tubuh mengkilap serta alat mulutnya mengunyah; dan belalang (Conocephalous longipennis de Haan.).
Dan dari jenis-jenis predator tersebut, Predator Paradosa pseudoannulata mempunyai kemampuan memangsa lebih tinggi dibandingkan dengan yaitu rata-rata 4,05 ekor per hari. Kemudian disusul oleh predator Tetragnatha maxillosa .

DAFTAR PUSTAKA
Marheni.2004. Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Faperta, Universitas Sumatera Utara.Medan.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.knowledgebank.irri.org diakses tanggal Pada tanggal 1 Juli 2011
http://fitrifatmaw08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/wereng-coklat/ diakses tanggal Pada tanggal 1 Juli 2011
http://rkb.irri.org/ipm/index.php/spiders/orb-spider/92-long-jawed-spider diakses tanggal Pada tanggal 3 Juli 2011