19/05/12

Potensi Gulma Gringsingan Sebagai Pestisida Nabati

Oleh : Urbanus Umbu Katanga              

            Pengembangan penerapan teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan kini terus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan antara lain harus dapat memelihara tingkat produksi Sumber Daya Alam (SDA) yang berwawasan lingkungan serta harus mengurangi dampak pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas hidup (Anisah, 2008). 
   
            Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah salah satu bagian penting dari teknologi pertanian. Menurut Ginting (2011)pestisida kimia sintetik sering digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan OPT. Alasannya, pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat untuk diketahui. Namun bila diaplikasikan secara kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama bukan sasaran, maupun lingkungan. Istiokarini (2002) menyatakan bahwa petani cenderung menggunakan pestisida kimia secara berlebihan antara lain karena modal dalam usaha tani yang cukup besar sehingga petani tidak mau menanggung resiko kegagalan usaha tani, konsumen menghendaki produk yang bersih (blemish free), dan kurang tersedianya pengendalian non kimiawi. Penggunaan pestisida kimiawi sintetik yang tidak bijaksana dapat menimbulkan akibat-akibat sampingan yang tidak diinginkan seperti resistensi, fenomena resurgensi, terbunuhnya organisme lain yang bukan sasaran termasuk musuh alami, ledakan hama sekunder, residu pada tanaman dan bagian tanaman, pencemaran lingkungan dan kecelakaan bagi manusia (Oka, 2005). 

             Untuk memperkecil dampak negatif penggunaan pestisida kimiawi yang tidak bijaksana maka dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 1995 pasal 3 telah ditetapkan bahwa perlidungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT); dalam pasal 19 dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian OPT merupakan alternatif terakhir. Oleh karena itu, perlu dicari pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran namun aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu komponen PHT yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah pestisida nabati, yaitu pestisida yang bahannya berasal dari tumbuh-tumbuhan 

       Gulma Gringsingan (Hyptis suaveolens) (Famili : Lamiaceae) di Nusa Tenggara Timur, dapat dengan mudah kita jumpai. Gulma ini dapat tumbuh di mana saja seperti di pinggiran jalan atau di tanah kering sekalipun. Gulma yang berasal dari Meksiko ini mempunyai daya  penyebarannya yang sangat cepat, oleh karena itu di Afrika gulma ini digolongkan ke dalam invasive alien spesies. Bahkan Hyptis suaveolens (Gambar 1) digolongkan ke dalam gulma yang paling berbahaya (Oppong-Anane & Francais, 2002).
                                  (Gambar 1. Gulma Gringsingan / Hyptis Suaveolens)           

      Namun dibalik kerugian yang ditimbulkan, gulma ini mempunyai banyak manfaat. Di India daun dan ranting H. suaveolens digunakan sebagai antirematik, antifertilitas, antiseptik pada luka bakar, dan pengobatan untuk penyakit kulit. Asap dari daun kering yang dibakar dapat digunakan untuk mengusir nyamuk. Hampir semua bagian tanaman ini dapat digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit (Shenoy, 2009). Sedangkan di Brazil, H.suaveolens populer digunakan dalam pengobatan pernapasan dan pencernaan infeksi, gangguan pencernaan, masuk angin, nyeri, demam, sakit dan penyakit kulit. Daunnya digunakan sebagai obat antikanker dan antifertilitas (Moreira et al., 2009). 

          Di Indonesia terlebih khusus di Nusa Tenggara Timur, penggunaan gulma ini sebagai obat-obattan belum dapat teridentifikasi, terlebih penggunaan gulma ini dalam pengendalian hama, dapat dikatakan tidak ada. H. suaveolens memiliki potensi yang sangat besar sebagai pestisida nabati. Seperti yang telah dibuktikan bahwa kandungan minyak atsiri dalam H. Suaveolens berpengaruh nyata dalam penghambatan jamur dari spesies Aspergilus (Moreira et al., 2009. hal ini semakin dikuatkan dengan hasil anilisis kandungan kimia dari H. Suaveolens bahwa terdapat alkaloid (14,32%), flavonoid (12,54%) , saponin (0,30%) dan tanin (0,52) (Edeoga et al, 2006). 


Daftar Pustaka 

Anisah, S.E.(2008). Uji Antagonisme Pseudomonas spp. Terhadap Jamur Fusarium sp. Asal Bawang Daun (Allium fistulosum L.) Secara In Vitro[Sripsi]. FPMIPA.Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. 

Ginting H. B. 2011. Uji Efektivitas Beberapa Insektisida Nabati Terhadap Hama Ulat Tritip (P. xylostella L.) dan Hama Ulat krop (C. binotalis Zell.) pada Tanaman Kubis (B. oleracea L.) [Sripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan. 

Istokarini Yunik, 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan Yang Ekologis Dan Berkelanjutan. Http://tumoutou.net/702_05123/yunik_istikorini.htm. Diakses: 21 Maret 2012 

Oka N.I., 2005.Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 

Moriera A.C.P, Lima E. O., Wanderley P.A., Carmo E.S., & de Souza A. L., 2010. Chemical composition and antifungal activity of Hyptis suaveolens (L.) Poit leaves essential oil against Aspergillus species. Universidade Federal da Paraíba, João Pessoa, PB, Brasil. 

Oppong-Anane, K. & Francais, 2002. Ghana Country Pasture/Forage Resource Profiles. Ministry of Food and Agriculture, Accra-North, Ghana. 

Shenoy C., M. B. Patil & R. Kumar, 2009. Wound Healing Activity of Hyptis suaveolens (L.) Poit(Lamiaceae). Department of Pharmacognosy and Phytochemistry, K.L.E.S’s College of Pharmacy, Belgaum, Karnataka, India.

1 komentar: